Salman Rushdie Sempat Hebohkan Publik Iran, Kali ini Iran Pilih Diam Usai Penulis Ayat-ayat Setan Ditusuk

14 Agustus 2022, 00:16 WIB
Ilustrasi Salman Rushdie ditikam ketika akan jadi pembicara/ /pexels.com/Nikolay Osmachko/

BALIKPAPAN CITY - Pemerintah Iran tak begitu menanggapi berita penikaman maut terhadap penulis buku 'Ayat-ayat Setan (The Satanic Verses)' Salman Rushdie.

Padahal, ketika buku itu terbit pada 1989, mendiang pemimpin Iran, Ayatollah Agung Ruhollah Khomeini langsung mengeluarkan fatwa.

Fatwa atau dekrit tersebut menyerukan kematian Rushdie. Khomeini meninggal pada tahun yang sama.

Pemimpin Tertinggi Iran saat ini, Ayatollah Ali Khamenei, tidak pernah mengeluarkan fatwanya sendiri untuk mencabut dekrit tersebut.

Baca Juga: Donald Trump Disebut Larikan Kode Nuklir AS, Target Pengepungan FBI di Rumah Mantan Presiden Tersebut

Misi Iran untuk PBB tidak segera menanggapi permintaan komentar atas serangan itu, yang mendominasi pemberitaan buletin berita malam di televisi Pemerintah Iran.

Ancaman pembunuhan dan hadiah membuat Rushdie bersembunyi di bawah program perlindungan Pemerintah Inggris, yang mencakup penjaga bersenjata sepanjang waktu.

Rushdie muncul setelah sembilan tahun mengasingkan diri, dan dengan hati-hati kembali tampil di depan umum.

Dia mempertahankan kritiknya yang blak-blakan terhadap ekstremisme agama secara keseluruhan, dilansir BalikpapanCity.com dari The Associated Press, Sabtu, 13 Agustus 2022.

Baca Juga: Salman Rushdie Ditikam Orang Tak Dikenal di New York, Sosok Kontroversial Penghina Islam Lewat Buku The Satan

Rushdie menyatakan dalam pembicaraan pada 2012 di New York bahwa terorisme benar-benar adalah seni ketakutan.

“Satu-satunya cara Anda bisa mengalahkannya adalah dengan memutuskan untuk tidak takut,” katanya.

Sentimen anti-Rushdie telah bertahan lama setelah keputusan Khomeini.

Sementara itu, kantor berita Pemerintah Iran, IRNA melaporkan, Sabtu, Marandi, penasihat tim perunding Iran dalam pembicaraan Wina, hanya bereaksi singkat.

Marandi bahkan menyinggung pula tentang tudingan bahw Iran membunuh John Bolton, mantan Penasihat Keamanan Nasional Presiden Donal.

Semua berita itu dinilainya aneh, karena terjadi tepat sebelum kemungkinan perjanjian nuklir.

"Saya tidak akan meneteskan air mata untuk seorang penulis yang menyemburkan kebencian dan penghinaan tanpa akhir terhadap Muslim & Islam, yang menyamar sebagai novelis Postkolonial," cuit Marandi.

"Tapi, bukankah aneh ketika kita mendekati kesepakatan nuklir potensial, AS membuat klaim tentang Bolton ... dan kemudian ini terjadi?" tambahnya.

Mengenai Bolton, dilansir dari BBC, Jumat, 12 Agustus 2022, para pejabat AS mengklaim, Shahram Poursafi, seorang anggota Korps Pengawal Revolusi Islam (IRG) Iran, berusaha membunuhnya.

Pousafi berada di Iran, dan dicari atas dugaan plot tersebut.

Upaya itu karena Poursafi kemungkinan akan membalas dendam atas serangan AS, yang menewaskan Qasem Soleimani, komandan militer paling kuat Iran.

Iran menolak tuduhan yang dikatakannya berasal dari 'kebijakan Iranofobia yang gagal'.

Soleimani mempelopori operasi militer Iran di Timur Tengah.

Pria berusia 62 tahun itu memimpin Pasukan Quds elit IRG. Dia terbunuh di bandara Baghdad, Irak, Januari 2020, dalam serangan yang diperintahkan oleh Presiden Trump.

Seorang juru bicara Pemerintah Iran mengatakan kepada media pemerintah bahwa tuduhan itu 'tidak berdasar'.

Dalam pengumuman dakwaannya, Departemen Kehakiman AS mengatakan bahwa Poursafi, alias Mehdi Rezayi telah berusaha membayar individu di AS.

Uang senilai 300.000 dolar AS diberikan untuk melakukan pembunuhan di Washington DC atau Maryland.

Tuduhan itu merinci bagaimana operasi Iran telah meminta seorang warga AS yang ditemui secara online oleh Poursafi untuk mengambil foto Bolton.

Alih-alih untuk sebuah buku yang dia tulis, seorangw arga AS yang tidak disebutkan namanya itu kemudian memperkenalkan Poursafi kepada orang lain.

Orang itu diminta untuk membunuh Bolton dan memberikan bukti video pembunuhan jika berhasil.

Dalam sebuah pernyataan, Bolton berterima kasih kepada FBI dan departemen kehakiman atas pekerjaan mereka.

"Departemen kehakiman memiliki tugas serius untuk membela warga negara kita dari pemerintah yang bermusuhan, yang berusaha menyakiti atau membunuh mereka," kata Asisten Jaksa Agung Matthew G Olsen.

"Ini bukan pertama kalinya kami menemukan plot Iran untuk membalas dendam terhadap individu di tanah AS," katanya.

"...,dan, kami akan bekerja tanpa lelah untuk mengekspos dan mengganggu setiap upaya ini," lanjut Olsen.

Adapun saat kematiannya, Soleimani secara luas dipandang sebagai tokoh paling kuat kedua di Iran, di belakang Ayatollah Ali Khamenei.

Pasukan Quds, unit elit Garda Revolusi Iran, melapor langsung ke ayatollah, dan Soleimani dipuji sebagai tokoh nasional yang heroik.

Tetapi AS mengklasifikasikan bahwa Pasukan Quds sebagai teroris, dan menganggap mereka bertanggung jawab atas kematian ratusan personel AS.***

Sumber: The Associated Press, IRNA, BBC

 

Editor: Hartono

Sumber: Berbagai Sumber IRNA

Tags

Terkini

Terpopuler